Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai

Beranda

  • Tergesa-gesa Menikmati Manise-ambon

    Mengapa kau menikmati ambon ubahnya Kota yang selalu kau kejar dengan tergesa-gesa? Jarum pendek di jam tangan telah melewati angka tiga. Saatnya satu helaan napas panjang untuk membatalkan satu umpatan, yang terlalu dini untuk menyimpan kesal akibat kapal yang berencana kabur dengan paket kirman saya, ada tiga rencana yang bakal mundur dari prediksi awal. Kalau begitu, simpan energi untuk bermaraton saja. Dalam konteks perjalanan personal, menuju Sula dengan orang-orang Pecinan itu; memang bukan hal yang biasa. Biasanya, saya lebih memilih untuk berkendara saja. Tapi, apa mau dikata, malam sebelum keberangkatan masih ada urusan ini-itu. Alih-alih ingin mendapatkan waktu jeda barang 90 menit sebelum agenda pertama, eh malah dialokasikan untuk waktu menunggu sebelum take off dan landing. Ya, anggap saja ujian penantian yang muncul di awal perjalanan.

    “Ale barng ini mo taruh di depan ka Ale tahan saja,, Nyong?” Pak Gojek yang mengantarkan saya dari kontrakan menuju pangkalaan; mungkin prihatin melihat tas carrier yang menjulang tinggi dari balik punggung saya. Belum lagi, saya masih membawa tas ransel kecil di bagian depan tubuh.

    “Oh, tra apa-apa, Abg.” “Perjalanan jauh, lho…” “Seng apa-apa Abg Aman… Hehehe…” Komentar “perjalanan jauh” dari Abg Gojek justru membuat saya tersenyum.

    Saya jadi ingat tentang relasi jarak dan waktu tempuh versi orang Ambon dan Sanana. Jarak tempuh dari dermaga menuju kontrakan yang berada di gunung berada tepat kawasan Stain barngkali menempuh sekitaran sekiraan dengan waktu tempuh sekitar 35 menit. Dari tengah kota menuju kawasan selatan “Arbes” memang terbilang jauh. Ditambah lagi, memang kala itu sempat bertemu macet tipis-tipis. Namun, jarak kilometer dapat ditempuh dalam waktu 35 menit adalah hebat. Biasanya, dengan jarak segitu dengan traffic Senin sore, saya bisa menghabiskan waktu lebih dari 40 menit saat di Ambon ini pada tataran Jarak tempuh dan waktu tempuh memang tidaklah lagi linear. Pukul setengah lima sore, saya tiba di kamar Kontrakan menunggu senja masuk ke dalam jendela kamar. Sepertinya posisi kamar saya lebih menyerap kepergian matahari ketimbang kedatangan matahari. Tak ingin hanyut dalam sesi foto bersama bingkisan pesona kota dan kepada Hewan-hewan langkah , sekiranya saya pun jadi ingat agenda pertama yang seharusnya telah dimulai sejak pukul setengah empat sore! Kalau memang butuh teman untuk cerita, kontaklah orang-orang terdekat yang bisa dipercaya. Jangan sampai kesedihan semakin membawa diri kita jatuh lebih dalam dalam lagi. Bagaimanapun, yang mengendalikan kita adalah pikiran kita sendiri. Semua berpusat di sana. Dan… untuk kita yang merasa baik-baik saja, tetaplah menyebarkan semangat positif. Jadi ingat pesan anak manusia. Pada dasarnya, tidak ada orang yang mau disakiti. Kita enggak pernah tahu air mata apa yang sedang disembunyikan oleh orang-orang di sekitar kita. Kita juga enggak pernah tahu sejarah hidup seperti apa yang dimiliki orang-orang di sekitar kita. Barangkali, ada yang menyimpan kekecewaan besar karena hubungan keluarga, relationship, pekerjaan yang overload, atau kekecewaan terhadap diri sendiri pada masa lalu. We’ll never know…

    Untuk kita semua, it’s okay not to be okay…

    #Menuju petang tahun akan datang Arbes/Desember 28/2022

    Iklan
  • Magrib, Menjahit Kenang

    Menjelang magrib, bunyi yang hening

    Mengulang-ulang kisah-an lalu

    Meski tak ada lagi kelambu dan lampu pelita

    Malam kian seperti angin jatuh

    Lemari sudut itu, masih ada bayang di pojok rumah

    Mantra atau rasa itu tak lagi ada seperti kala

    Barangkali beginilah mendengar setiap ramai yang tak pernah sama

    Ruangan itu masih menyimpan alur cerita

    Aku termangu di ruang bisu

    Membayang semu yang telah tiada ditelan waktu hanyalah afsun tungku dapur yang selalu menyala

    Dulu waktu kecil sesekali sembunyi

    Berulang kali keluh kesah Ingin sekali ku rotasikan waktu Menjadi kecil tak serepot saat usia tumbuh

    Bertamu hanyalah teras tempat duduk menjahit cita yang tak pernah hadir dari asa

  • Perempuan Tangguh.

    Ketika begitu banyak orang tertarik menjabarkan kata cinta atau makna dari sebuah cinta antara sepasang kekasih, mungkin aku bukan lah salah satu dari mereka. Karena aku lebih tertarik bercerita tentang ibu. Bagiku Maa. itulah dua kata yang seringkali terucap dari mulutku sesaat kecil hingga dewasa dinihari, kata yang tertera hanya dua huruf itu pun sebegitu agung maknanya, pada ucapan “Mama ataupun ibu, yang suda begitu banyak saya sebutkan: dalam sebuah hal maupun bercerita, menanyakan, memanggil ia hanya dengan sebutan dua kata. Kini waktu saja begitu cepat berpindah dari hari-kehari, bulan bulan berganti, begitupun dengan tahun. Semenjak beranjak dari rumah, rasa tak pernah tuk beranjak darinya, sesekali tiba masanya: sembari tersenyum seketika telepon sudah berbunyi, lain tak bukan itu adalah telpon dari seorang ibu pada anaknya; yang begitu amat ia sayang. Ibu.., Ia tak pernah jedah ketika tibanya Kapal dari Ambon, merapat tiga hari lalu, berlabuh didermaga pelabuhan sanana tempat asal saya. Barangkali itu adalah suatu tempat yang belum juga di kenali banyak orang, entahlah. Sewaktu sehari itu juga ia dengan tulusnya menyiapkan sedikit barang kebutuhan untuk anaknya dikota: hatinya begitu agung, sebegitu luluh cintanya. Ya, itulah ia, perempuan yang banyaknya saudara kakak beradik, ia adalah seorang anak bungsu yang terdiri dari 7anak sekandung, ia sangatlah keras kepala bila orasinya tak di dengar, maka itu akan terus berlanjut di bumkam olehnya. ya perempuan asal Sula satu ini. Tiada manusia yang paling kuat kecuali ibu. Ya, Makhluk yang satu ini benar-benar kuat dan tangguh. Bagaimana tidak, dilihat dari proses ia mengandung hingga melahirkan seorang anak, dan bahkan sampai anak itu tumbuh dewasa, seorang ibu mampu merawat dan menjaganya dengan sebaik mungkin. Kita pasti pernah mendengar sebuah ungkapan “Seorang Ibu mampu merawat 10 anak sekaligus, namun 10 orang anak belum tentu bisa merawat seorang ibu”. Ungkapan ini benar adanya dan saya melihat itu langsung dari ibu saya sendiri.

    Seperti penyair Emi Suyanti dalam buku puisinya yang kelima berjudul “Ibu Menanak Nasi hingga Matang Usia Kami. Sebuah buku yang mempunyai tema tentang ibu, sebagai bentuk penghormatan Emi terhadap sang bunda, dengan diksi-diksi metafora dan ironi. Seperti di halaman 11:

    Kukusan

    Di kukusan bambu, menghitam

    Dibakar bara dan doa, begitu tenang

    Ibu menanak usia kami, hingga matang

    Di malam mendidih, di siang perih

    Ibu pelan-pelan menua, bagai kukusan

    Menampung segala ringkih dan perkasa

    Sesekali meneguk

    Air matanya

    Sendiri

    Berapa besar gaji dan penghasilan yang sepadan kita dapatkan di perantauan untuk membayar kesunyian ayah dan ibu di rumah? Berapa nilai nominal yang mampu membayar kesedihan ibu setiap kali masuk ke kamar anaknya dan tak menemukan siapa-siapa? Kecuali ingatan tentang masa kecil kita yang berlarian di dalam rumah, atau ayah yang menggenggam tangannya sendiri erat erat, sebab tangan anaknya yang biasa digenggam sedang berada jauh di perantauan. Sambungan komunikasi jarak jauh semacam apa yang dapat menjelaskan kerinduannya?. Sepinya hati ibu dan ayah ketika kita selesai mengucapkan salam penutup dari balik layar genggaman teleponnya? Kecanggihan teknologi macam apa yang dapat mengembalikan anak-anaknya pada dinding-dinding rumah yang sunyi, apakah ayah dan ibu kembali ke pangkuan mereka? Entahlah, saya tentu juga tak dapat menjawabnya. Kalau kisah ini berjalan jauh bawalah kenang hingga ke hati. Hati-hati dengan perasaan ibukasihayah tafakur dalam perjalanan, Ada petualang seorang anak Yang melukis-lukisan cerita ibunya. Ada aroma-aroma masakan mama yang tak terlewatkan untuk sarapan tulisan-tulisan kita. Jika saja kita lebih teliti dalam membaca hati, mau bersabar menunggu takdir, mungkin segala mimpi- mimpi tak hanya berakhir dalam satu buku puisi. Seperti saat-saat di bulan ramadhan tiba, ia menjadi orang yang paaaling sesibuk. Disaat suami dan anak-anaknya sedang tertidur pulas, dengan rasa kantuk yang masih menyerang, ia dengan susah payahnya bangun dengan alasan menyiapkan makanan sahur untuk keluarga. Begitupun waktu berbuka puasa, ia pula orang yang paling sibuk didapur. Bahkan terkadang dia orang yang paling terakhir bersih-bersih mandi, meski begitu ia tak pernah mengeluh. Tepat hari-hari yang beranjak ini, aku pun mengalami hal serupa. Aku melihat sendiri bagaimana lihainya ibuku saat menyiapkan segalanya untuk kami, tak lupa pula aku turut membantunya. Tanpa terasa air mata ini jatuh. Ada perasaan sedih bercampur haru. Memikirkan Betapa beratnya menjadi seorang ibu, yang harus sigap setiap saatnya. Air mata ibu pecah menjadi dua: yang satu untuk dapur, yang berhari-hari mogok kerja. Yang lain untukku berjalan, ke suatu tempat yang tak tertulis di peta. Di sudut-sudut kota dalam kepercayaan dan pengakuan. Di tengah dalam keraguan dan keterasingan. Dalam perjalanan ke tempat luas yang asing. Aku masih nyaman dalam kotak kecil dan bau pesing. Sebuah keinginan yang membuatku maju. Tapi khayalan dan mimpi yang akan menjadi debu- debu yang menyimpan harapan hidup, dari orang yang berdiam di sudut kotak kecil pada abad saat ini. Dinegeri tua, anakmu masih selalu membagi malam di rumah tak bernama. Dalam benakku berlirih. Suatu saat aku ingin menjadi sepertimu. Terimakasih ibu, doamu yang kian melambung tinggi. Sedangkan anakmu masih tegak berdiri, semoga sang pencipta membuka langkah ku; semoga keberhasilan mulai datang. Akan kubawa dirimu ke puncak awan dan kebahagiaan terimakasih bu, dari anak kecilmu yang kian tumbuh dewasa.

    Ambon, 04 Juli 2020.